Sore ini, saya sebagai orang tua agak tersentil dengan tontonan yang ada di TV. Dan lagi-lagi itu berasal dari salah satu film kartun kesukaan si kakak. Chibi Maruko Chan judulnya, kartun lama yang diputar kembali di salah satu stasiun TV swasta kita. Bagi kita yang lahir di era 90 an mungkin tidak akan asing lagi dengan kartun ini. Kartun yang berkisah tentang kehidupan seorang anak perempuan bernama Maruko dengan segala kesehariannya. Jika anda menontonnya, anda mungkin akan dibawa flashback ke masa kecil anda yang mungkin kurang lebih sama dengan apa yang diceritakan dalam kartun ini.
Namun, episode sore ini ada pembelajaran yang bisa diambil oleh saya sebagai orang tua. Berawal dari Maruko yang sedang melaksanakan tes di sekolahnya, tapi hasil tesnya tidak sesuai dengan yang dia bayangkan. Nilai tes yang buruk membuat Maruko dimarahi habis-habisan oleh ibunya. Karena memang dia tidak berusaha maksimal ketika tes tersebut. Maruko yang lelah dimarahi akhirnya bertekad untuk mendapatkan nilai yang lebih bagus pada tes berikutnya. Diapun belajar lebih giat dibantu oleh kakek dan teman sebangkunya, Tamae. Waktu tespun tiba dan hasil tes pun didapat. Nilai 60 ia dapatkan, jauh lebih baik pikirnya dibandingkan sebelumnya yang hanya dapat 45. Dengan percaya diri dia menunjukkan nilai itu ke ibunya berharap akan mendapat pujian hasil kerja kerasnya. Tapi, bukan pujian yang dia peroleh, melainkan tanggapan yang sewajarnya. Malahan, ibunya bilang jika nilainya belum terlalu bagus karena hanya mendapat 60. Seketika Maruko pun kecewa karena perlakuan yang dia terima benar-benar diluar ekspektasi nya.
Dari sini kita sebagai orang tua dapat mengambil pelajaran bahwa sekecil apapun kemajuan atau kebaikan yang dilakukan anak, berikan dia pujian. Sebenarnya anak hanya perlu pengakuan. Seperi kisah Maruki tadi, dia hanya perlu pengakuan atas kerja kerasnya untuk meningkatkan nilai. Dan menjadi pelajaran selanjutnya yaitu kebiasaan orang tua yang selalu melihat sesuatu berdasarkan nilai atau hasil akhir. Ini seperti apa yang dilakukan ibu Maruko. Nilai 60 dianggap suatu hal yang biasa bahkan masih kurang. Padahal dibalik nilai 60 itu ada kerja keras si anak untuk mencapainya. Disini poinnya. Hargai setiap proses pembelajaran yang dilakukan oleh anak. Apapun hasil akhirnya, pujilah dia. Karena yang kita lihat bukan hasil melainkan proses untuk dia mencapainya. Dengan begitu anak akan merasa dihargai, diakui, dan lebih respect terhadap kita sebagai orang tua.
Kemudian saya bandingkan apa yang saya alami sore ini dengan drama Korea yang sedang saya tonton. Drama yang sekarang sedang trend di kalangan penikmat drama Korea, The world of married. Fokus saya disini bukan dari inti ceritanya yaitu tentang sisi gelap dunia pernikahan, melainkan lebih kepada hubungan emosional antara Joon Young, si anak dengan kedua orang tuanya Dr Ji (ibu) dan Tae Oh (ayah).
Joon Young sebenarnya anak yang cukup periang, hidup dengan materi berkecukupan, namun jika dilihat, kedekatan dia dengan ibunya cenderung kurang. Dr Ji yang seorang dokter dirasa kurang bisa dekat dengan Joon Young secara emosional. Memang dr Ji memenuhi segala kebutuhan fisiknya, mulai dari makanan yang sehat, pendidikan yang bagus, materi yang cukup, tapi di sisi lain, kebersamaan dengan Joon Young sangatlah kurang. Kebersamaan ini malah dia dapatkan dari Tae Oh, sang ayah. Bersama ayahnya, Joon Young bisa tertawa lepas, berolahraga bersama dan sering menghabiskan waktu untuk kegiatan bersama. Bahkan ketika kedua orang tuanya bercerai karena ayahnya menikah dengan selingkuhannya, Joon Young lebih memilih untuk tinggal dengan si ayah. Pada episode ini, banyak netizen yang berkomentar bahwa Joon Young anak durhaka karena meninggalkan ibunya di saat sedang terpuruk akibat perceraian. Namun, jika saya berpikir sebagai seorang anak, saya juga pasti akan lebih memilih tinggal bersama dengan orang yang bisa membuat kita lebih nyaman dan tenang. Dan ini didapatkan Joon Young dari ayahnya, terlepas ayahnya sebagai seorang suami yang gagal.
Disini kita belajar bahwa kebutuhan seorang anak bukan hanya masalah materi, makanan, pendidikan atau kebutuhan fisik lain. Namun kedekatan secara emosional, kebersamaan dengan orang tua jauh lebih penting dibandingkan segalanya. Akan tertanam kuat di pikiran anak apa yang dilakukan dia seharian dengan ayah atau ibu dibandingkan dengan pemenuhan materi apa yang diberikan oleh si ayah atau ibu.
Artinya seperti ini, anak jangan cuma diberikan hadiah mainan, tetapi temani dan ajaklah dia bermain dengan mainan tersebut serta lakukan improvisasi dengan mainan tersebut. Begitupun juga pada saat makan atau tidur. Jangan cuma ibu membuatkan makanan, lalu menawari dia untuk makan, tetapi temani dia makan sembari sesekali sisipkan suatu ilmu dari makanan yang ia makan, contohnya kandungan gizinya, cara makan yang baik dan benar atau hal lain. Kegiatan tidurpun sama, jangan hanya meminta anak untuk tidur dan setelah itu kita sibuk dengan gadget kita. Tapi temani dia tidur, ajak dia bercerita sebelum dia tidur, minta dia bercerita tentang sekolahnya atau kegiatan nya hari ini. Cara-cara ini hanya sedikit cara kita sebagai orang tua untuk membangun kedekatan dengan anak secara emosional. Jadi anak akan lebih nyaman dan rindu dengan kita sebagai orang tua.
Pikiran saya kemudian menjelajah lagi dan berhenti ke sebuah judul film dan lagi-lagi film kartun. Cardcaptor sakura, anime Jepang yang terkenal di era 90an. Kartun ini berkisah tentang Sakura yang mempunyai kekuatan magic sebagai pengumpul kartu ajaib yang mengacaukan dunia. Namun, bukan ceritanya yang akan saya bahas, melainkan kehidupan Sakura sebagai seorang anak perempuan yang menjadi topik saya.
Sama seperti anak lain, Sakura tumbuh di sebuah keluarga normal dengan ayah dan seorang kakak laki-laki. Sementara ibunya sudah meninggal lama ketika melahirkan Sakura. Yang menarik dan dapat dijadikan contoh disini adalah sifat ayah Sakura yang benar-benar sebagai orang tua ideal. Meskipun berprofesi sebagai seorang profesor di sebuah kampus ternama di daerah nya, ayahnya masih sempat melayani kebutuhan Sakura, mulai dari menyiapkan makanan, membersihkan rumah, menyiapkan baju bersih, bahkan tidak pernah absen menghadiri segala kegiatan sekolah yang melibatkan orang tua. Bahkan ada satu episode yang bercerita tentang ayah sakura yang harus menghadiri seminar di luar kota sementara sakura sedang sakit demam. Memang di awal si ayah tetap pergi menghadiri seminar, namun pada pertengahan acara dia pulang karena khawatir dengan keadaan sakura. Disini dapat dilihat, hubungan emosional yang benar-benar kuat antara Sakura dan ayahnya. Meski sedang sibuk, ayahnya tetap menyempatkan diri untuk menghabiskan waktu bersama anaknya.
Ada lagi satu episode yang akan saya bahas dimana Sakura yang mendapat nilai sangat jelek di ujian matematika. Tapi bukan kemarahan dari ayah yang dia terima melainkan kata-kata penenang dari ayahnya yang diperoleh. Ayahnya bilang jika dia sudah berusaha keras pada ujian itu, namun jika hasilnya tidak sesuai, itu bukan salah Sakura, melainkan bakat Sakura memang bukan pada penguasaan mata pelajaran.Memang sosok sakura disini dikisahkan sebagai seorang anak yang mahir di bidang seni dan olahraga. Dan ayahnya sangat mendukung bakat itu. Ayah sakura tidak pernah memaksakan sakura untuk selalu mendapatkan nilai bagus untuk ujiannya karena dia tau anaknya akan lebih cepat berkembang di bidang seni dan olahraga. Karena itu, perlombaan apapun di bidang olahraga, selalu diikuti oleh Sakura atas dorongan ayahnya dan pasti selalu juara.
Kisah ini mengajari kita sebagai orang tua untuk tidak selalu menuntut anak mahir dalam segala bidang. Jika pada bidang tertentu anak kurang, lihat potensi dia di bidang lain. Nanti akan sampai pada satu titik bahwa anak menonjol pada bidang tersebut. Kembangkan bidang tersebut sebagai bakat anak. Itupun berlaku untuk nilai mata pelajaran. Jika anak mendapat nilai jelek di matematika, jangan tuntut anak untuk mahir di mapel tersebut dengan memberikan bimbingan ekstra untuk menaikan nilai matematika anak. Namun lihat lagi mata pelajaran yang nilainya paling menonjol. Mungkin disitulah Bakat dan ketertarikan anak. Orang tua hanya bisa mengarahkan anak untuk mengembangkan bakat ini. Dengan demikian anak tidak akan stres karena diminta melakukan hal yang tidak ingin dia lakukan dan dia kuasai.
Sebagai orang tua memang dituntut untuk terus belajar memahami dunia anak. Karena kebutuhan anak tidak melulu hanya kebutuhan fisik saja, melainkan kebutuhan psikologis dan juga spiritual. Dan ini sudah menjadi tugas besar bagi orang tua untuk dapat memenuhi itu semua agar anak tumbuh menjadi seorang yang dekat dengan kedua orang tuanya serta sehat fisik dan jiwanya.
Namun, episode sore ini ada pembelajaran yang bisa diambil oleh saya sebagai orang tua. Berawal dari Maruko yang sedang melaksanakan tes di sekolahnya, tapi hasil tesnya tidak sesuai dengan yang dia bayangkan. Nilai tes yang buruk membuat Maruko dimarahi habis-habisan oleh ibunya. Karena memang dia tidak berusaha maksimal ketika tes tersebut. Maruko yang lelah dimarahi akhirnya bertekad untuk mendapatkan nilai yang lebih bagus pada tes berikutnya. Diapun belajar lebih giat dibantu oleh kakek dan teman sebangkunya, Tamae. Waktu tespun tiba dan hasil tes pun didapat. Nilai 60 ia dapatkan, jauh lebih baik pikirnya dibandingkan sebelumnya yang hanya dapat 45. Dengan percaya diri dia menunjukkan nilai itu ke ibunya berharap akan mendapat pujian hasil kerja kerasnya. Tapi, bukan pujian yang dia peroleh, melainkan tanggapan yang sewajarnya. Malahan, ibunya bilang jika nilainya belum terlalu bagus karena hanya mendapat 60. Seketika Maruko pun kecewa karena perlakuan yang dia terima benar-benar diluar ekspektasi nya.
Dari sini kita sebagai orang tua dapat mengambil pelajaran bahwa sekecil apapun kemajuan atau kebaikan yang dilakukan anak, berikan dia pujian. Sebenarnya anak hanya perlu pengakuan. Seperi kisah Maruki tadi, dia hanya perlu pengakuan atas kerja kerasnya untuk meningkatkan nilai. Dan menjadi pelajaran selanjutnya yaitu kebiasaan orang tua yang selalu melihat sesuatu berdasarkan nilai atau hasil akhir. Ini seperti apa yang dilakukan ibu Maruko. Nilai 60 dianggap suatu hal yang biasa bahkan masih kurang. Padahal dibalik nilai 60 itu ada kerja keras si anak untuk mencapainya. Disini poinnya. Hargai setiap proses pembelajaran yang dilakukan oleh anak. Apapun hasil akhirnya, pujilah dia. Karena yang kita lihat bukan hasil melainkan proses untuk dia mencapainya. Dengan begitu anak akan merasa dihargai, diakui, dan lebih respect terhadap kita sebagai orang tua.
Kemudian saya bandingkan apa yang saya alami sore ini dengan drama Korea yang sedang saya tonton. Drama yang sekarang sedang trend di kalangan penikmat drama Korea, The world of married. Fokus saya disini bukan dari inti ceritanya yaitu tentang sisi gelap dunia pernikahan, melainkan lebih kepada hubungan emosional antara Joon Young, si anak dengan kedua orang tuanya Dr Ji (ibu) dan Tae Oh (ayah).
Joon Young sebenarnya anak yang cukup periang, hidup dengan materi berkecukupan, namun jika dilihat, kedekatan dia dengan ibunya cenderung kurang. Dr Ji yang seorang dokter dirasa kurang bisa dekat dengan Joon Young secara emosional. Memang dr Ji memenuhi segala kebutuhan fisiknya, mulai dari makanan yang sehat, pendidikan yang bagus, materi yang cukup, tapi di sisi lain, kebersamaan dengan Joon Young sangatlah kurang. Kebersamaan ini malah dia dapatkan dari Tae Oh, sang ayah. Bersama ayahnya, Joon Young bisa tertawa lepas, berolahraga bersama dan sering menghabiskan waktu untuk kegiatan bersama. Bahkan ketika kedua orang tuanya bercerai karena ayahnya menikah dengan selingkuhannya, Joon Young lebih memilih untuk tinggal dengan si ayah. Pada episode ini, banyak netizen yang berkomentar bahwa Joon Young anak durhaka karena meninggalkan ibunya di saat sedang terpuruk akibat perceraian. Namun, jika saya berpikir sebagai seorang anak, saya juga pasti akan lebih memilih tinggal bersama dengan orang yang bisa membuat kita lebih nyaman dan tenang. Dan ini didapatkan Joon Young dari ayahnya, terlepas ayahnya sebagai seorang suami yang gagal.
Disini kita belajar bahwa kebutuhan seorang anak bukan hanya masalah materi, makanan, pendidikan atau kebutuhan fisik lain. Namun kedekatan secara emosional, kebersamaan dengan orang tua jauh lebih penting dibandingkan segalanya. Akan tertanam kuat di pikiran anak apa yang dilakukan dia seharian dengan ayah atau ibu dibandingkan dengan pemenuhan materi apa yang diberikan oleh si ayah atau ibu.
Artinya seperti ini, anak jangan cuma diberikan hadiah mainan, tetapi temani dan ajaklah dia bermain dengan mainan tersebut serta lakukan improvisasi dengan mainan tersebut. Begitupun juga pada saat makan atau tidur. Jangan cuma ibu membuatkan makanan, lalu menawari dia untuk makan, tetapi temani dia makan sembari sesekali sisipkan suatu ilmu dari makanan yang ia makan, contohnya kandungan gizinya, cara makan yang baik dan benar atau hal lain. Kegiatan tidurpun sama, jangan hanya meminta anak untuk tidur dan setelah itu kita sibuk dengan gadget kita. Tapi temani dia tidur, ajak dia bercerita sebelum dia tidur, minta dia bercerita tentang sekolahnya atau kegiatan nya hari ini. Cara-cara ini hanya sedikit cara kita sebagai orang tua untuk membangun kedekatan dengan anak secara emosional. Jadi anak akan lebih nyaman dan rindu dengan kita sebagai orang tua.
Pikiran saya kemudian menjelajah lagi dan berhenti ke sebuah judul film dan lagi-lagi film kartun. Cardcaptor sakura, anime Jepang yang terkenal di era 90an. Kartun ini berkisah tentang Sakura yang mempunyai kekuatan magic sebagai pengumpul kartu ajaib yang mengacaukan dunia. Namun, bukan ceritanya yang akan saya bahas, melainkan kehidupan Sakura sebagai seorang anak perempuan yang menjadi topik saya.
Sama seperti anak lain, Sakura tumbuh di sebuah keluarga normal dengan ayah dan seorang kakak laki-laki. Sementara ibunya sudah meninggal lama ketika melahirkan Sakura. Yang menarik dan dapat dijadikan contoh disini adalah sifat ayah Sakura yang benar-benar sebagai orang tua ideal. Meskipun berprofesi sebagai seorang profesor di sebuah kampus ternama di daerah nya, ayahnya masih sempat melayani kebutuhan Sakura, mulai dari menyiapkan makanan, membersihkan rumah, menyiapkan baju bersih, bahkan tidak pernah absen menghadiri segala kegiatan sekolah yang melibatkan orang tua. Bahkan ada satu episode yang bercerita tentang ayah sakura yang harus menghadiri seminar di luar kota sementara sakura sedang sakit demam. Memang di awal si ayah tetap pergi menghadiri seminar, namun pada pertengahan acara dia pulang karena khawatir dengan keadaan sakura. Disini dapat dilihat, hubungan emosional yang benar-benar kuat antara Sakura dan ayahnya. Meski sedang sibuk, ayahnya tetap menyempatkan diri untuk menghabiskan waktu bersama anaknya.
Ada lagi satu episode yang akan saya bahas dimana Sakura yang mendapat nilai sangat jelek di ujian matematika. Tapi bukan kemarahan dari ayah yang dia terima melainkan kata-kata penenang dari ayahnya yang diperoleh. Ayahnya bilang jika dia sudah berusaha keras pada ujian itu, namun jika hasilnya tidak sesuai, itu bukan salah Sakura, melainkan bakat Sakura memang bukan pada penguasaan mata pelajaran.Memang sosok sakura disini dikisahkan sebagai seorang anak yang mahir di bidang seni dan olahraga. Dan ayahnya sangat mendukung bakat itu. Ayah sakura tidak pernah memaksakan sakura untuk selalu mendapatkan nilai bagus untuk ujiannya karena dia tau anaknya akan lebih cepat berkembang di bidang seni dan olahraga. Karena itu, perlombaan apapun di bidang olahraga, selalu diikuti oleh Sakura atas dorongan ayahnya dan pasti selalu juara.
Kisah ini mengajari kita sebagai orang tua untuk tidak selalu menuntut anak mahir dalam segala bidang. Jika pada bidang tertentu anak kurang, lihat potensi dia di bidang lain. Nanti akan sampai pada satu titik bahwa anak menonjol pada bidang tersebut. Kembangkan bidang tersebut sebagai bakat anak. Itupun berlaku untuk nilai mata pelajaran. Jika anak mendapat nilai jelek di matematika, jangan tuntut anak untuk mahir di mapel tersebut dengan memberikan bimbingan ekstra untuk menaikan nilai matematika anak. Namun lihat lagi mata pelajaran yang nilainya paling menonjol. Mungkin disitulah Bakat dan ketertarikan anak. Orang tua hanya bisa mengarahkan anak untuk mengembangkan bakat ini. Dengan demikian anak tidak akan stres karena diminta melakukan hal yang tidak ingin dia lakukan dan dia kuasai.
Sebagai orang tua memang dituntut untuk terus belajar memahami dunia anak. Karena kebutuhan anak tidak melulu hanya kebutuhan fisik saja, melainkan kebutuhan psikologis dan juga spiritual. Dan ini sudah menjadi tugas besar bagi orang tua untuk dapat memenuhi itu semua agar anak tumbuh menjadi seorang yang dekat dengan kedua orang tuanya serta sehat fisik dan jiwanya.
Setuju karena tdk ada sekolah orang tua maka ortu harys belajar sepanjang hayat.
BalasHapusCanggih... Saya senang Sekali membaca tulisan ini
BalasHapusIbu lugas Sekali mengulik cerita dalam film menjadi tulisan yg menginspirasi.
Terimakasih Bu
Keren betul.srai bu. Ini mjd pengingat kita sbg orng tua yg mungkin ada yg lupa tgs kita. Triam kasih
BalasHapusBetul sekali
BalasHapusBetul hargai proses. Anak itu unik dgn beragam kemampuan yg berbeda.
BalasHapus