Karya: Lathifa Drupadi (fA)
(Siswi SMP NEGERI 8 Semarang)
Terkungkung segala harapan dalam sebungkus koran berita akan derita. Atmosfer bumi dihiasi doa-doa tak kasat mata yang berjubel minta dikabulkan. Air mata membasahi tanah, lagu kesedihan itu beralun merdu menusuk telinga-telinga sendu. Sirine berkelap-kelip dari kejauhan membawa raga yang tergeletak dengan jantung tak lagi normal berdetak. Raganya nyawanya lama-lama melayang. Tukang gali kubur meraup keringat dan uang, ingin senang ingin sedih mereka bingung. Lahan humus berubah menjadi lautan manusia mati. Udara tampak tercemar asap bercampur virus. Anak-anak dicekoki racun bayangan kematian. Mereka terpaksa mengurung diri. Hidup serasa mati. Sedangkan pasien sadar bila ia tak ada bedanya dengan mereka yang kini di ruang mayat. Garis grafik itu semakin tinggi, menembus rekor mengingatkan pada 100 tahun lalu. Kontra semakin menjadi disulut konspirasi. Politik dan ekonomi sama-sama krisis. Kemanusiaan entah diletakkan di mana. Pancasila dan undang-undang menjadi rebutan. Golongan-golongan terbentuk, ada yang setuju dengan hukum, ada yang melawan hukum. Sementara bencana alam ikut menghadiri pesta. Memakan korban dengan lahap bersama Corona. Bersama menjadikan bumi berguncang dan ramai. Lokawigna berdansa menyambar nyawa-nyawa, dengan tangisan manusia sebagai musik pengiringnya.
Hari-hari besar tetap dirayakan tetapi dengan rasa yang berbeda. Hormat pada merah putih dari rumah, bersua dengan kawan melalui virtual. Jika dulu anak kecil tak boleh memegang HP, maka sekarang hampir semua anak memiliki HP pribadi. Tanpa sadar api semangat 45 itu semakin padam. Semua fokus pada urusan pribadinya masing-masing. Nama-nama pahlawan itu terpajang usang di ruang kelas yang sekarang beralih menjadi ruang rindu. Para pemuda sepertinya lupa dengan siapa yang memerdekakan negeri ini. Bayangkan bila kita masih berada di tangan penjajah! Dilanda Corona sambil mengais-ngais di tanah air yang diklaim milik orang asing.
Di mana jiwa-jiwa pahlawan itu? Ikut terkuburkah ia? Apakah sudah dihabisi oleh si Corona? Perlawanan kita bukan lagi menggunakan senjata tajam. Perlawanan kita menggunakan senjata biologis. Strategi untuk memenangkan pertarungan ini bukan lagi seperti dulu. Iya, kini kita berada di medan perang, Kawan. Negara yang lemah, pemuda yang lengah, mereka akan kalah. Masa depannya akan semakin buram. Corona akan senantiasa menghantui mereka yang tak taat protokol kesehatan dan terlalu panik. Bukan fisik kita yang disiksa. Tetapi mental kita. Jika pemuda zaman 1945 itu adu kekuatan, maka kita adu mental. Jangan sampai nama Indonesia terkenal akan angka pasien Corona yang tinggi. Justru harus terkenal oleh prestasi dari rumah yang kita raih. Harumkan nama bangsa meski kita dikarantina. Mungkin fisik kita sekarang diminta untuk diam di rumah. Akan tetapi rasa kreativitas kita tetap harus melayang bebas. Jadikan sekitar sebagai inspirasi dan kunci membuka jiwa yang bebas.
Penjara pahlawan zaman dahulu berupa besi. Penjara pahlawan masa kini yaitu dirinya sendiri. Mereka yang tak berani maju, terus menahan mimpinya di situ. Tidakkah kita malu melihat negeri semakin maju? Mereka berbanah kita malah merebah.
Hei, kobaran api pahlawan itu masih mengalir di nadi kita. Pandangan lautan merah zaman pejuang dahulu, sekarang menjadi pandangan korban penyakit. Bila dulu pahlawan melawan penjajah, maka kita melawan hati kita sendiri, kita melawan saudara kita sendiri. Kita yang sebangsa setanah air malah saling berkhianat. Dan anak-anak cerdas takut menyuarakan opininya, disalahgunakan oleh pihak laknat. Sedangkan pemuda pemudi yang putus asa memilih mengakhiri hidup. Orang tua membunuh anaknya sendiri karena kurang cerdas.
Ya, Corona tak hanya membunuh fisik tetapi juga membunuh mental.
Ia gerogoti jiwa gotong royong milik kita. Ia renggut solidaritas kita. Ia sebarkan suu’dzon sampai tali persaudaraan renggang. Semua dicurigai sebagai penderita COVID-19 dan dijauhi masyarakat umum. Tetangga sebelah saling curiga menunuh menerka-nerka. 75 tahun sejak proklamasi dikumandangkan, sekarang saatnya kembali bertarung.
Jika di film-film, ketika ada suatu masalah atau musibah, nantinya akan datang pahlawan kesiangan yang menyelamatkan dunia. Tetapi mau sampai kapan Indonesia terus begini? Akankah kita jiwa-jiwa pemuda merenung di depan layar sambil membuang kesempatan, melihat jarum jam yang terus berputar sekaligus hoax beredar pura-pura tak sadar? Siapa pahlawan yang kita tunggu itu? Ya, kita sendiri ini! Kita adalah pahlawan bagi negara ini. Tak ada orang lain lagi. Semua sibuk dengan bumi pertiwinya masing-masing. Sementara kita malah mengumbar janji palsu pada janji. Mengatakan bahwa nanti akan datang pahlawan yang menumpas segala kehancuran. Menegakkan kembali Indonesia yang terombang-ambing.
Hei, siapa pahlawan yang kita tunggu itu? Pahlawannya yaitu kita sendiri. Sadarlah! Hanya kita satu-satunya harapan Indonesia. Tetapi mengapa kita malah saling bertengkar dan mengadu domba? Ini bukan film superhero dan kita tinggal menunggu lahirnya saja. Kita adalah pahlawan bagi bangsa ini. Kemakmuran dan kehancuran ada di tangan kita!
Ah, aku lupa. Jiwa pahlawan itu sekarang sedang dikarantina bukan? sekarang mereka sedang menjadikan siang sebagai malam dan malam sebagai siang. Tidur sepanjang hari begadang sepanjang hari. Makin lama jiwa itu lukanya makin parah. Ia tinggal abadi di buku-buku pelajaran. Kisah leluhur itu sekadar sepenggal kisah sebelum tidur, yang sama sekali tidak membangunkan jiwa pemuda zaman sekarang. Malah cerita-cerita itu dianggap aneh dan kuno. Hah, perlukah aku menunggu pahlawan itu muncul? Kapan munculnya? Aku dengar sekarang ia sedang dikarantina. Ternyata oh ternyata. Mungkin tubuh mereka sekuat baja tetapi mental mereka renyah seperti kerupuk. Mereka telanjur dijerat tali hawa nafsu.
Tak perlu diragukan lagi. Dunia sedang berperang sedangkan kita asyik telponan dengan doi membahas hal yang sama sekali khayal. Corona berbisik, “tidurlah pahlawan, jangan bangun. Bangunlah ketika nanti negerimu benar-benar luluh lantak. Kau masih muda tak perlu repot-repot. Aku tak akan merenggut nyawa dan ragamu. Tetapi aku akan merenggut mental dan semangat pahlawan itu. Tentu aku melakukan ini dengan sepenuh izin dari suara hati kecilmu yang dipengaruhi setan nafsu itu.”
Akhirnya, 10 November 2020 dirayakan dengan penuh tangis. Dirayakan dengan menghormati kematian jiwa pahlawan yang terkarantina. Hujan, mendung, angin dingin, hati yang telah mati, menjadi teman bagi si merah putih yang tertutup debu dalam lemarin.
Jiwa-jiwa pahlawan itu, ia telah terkarantina dan lambat laun mati. Ataukah nanti ada secercah cahaya dan keajaiban dari penjara hidup tak kasat mata itu? Ah, aku tak tau. Realitanya yang aku lihat sekarang hanyalah Corona yang asik menari di dalam jantungku. Dan jariku berhenti di huruf ini. Raga dan nyawaku mungkin mati. Namun semangat hidupku tak akan mati. Sekilas aku melihat Corona yang membisikkan kalimat tadi kesalah satu anak yang baru bangun di siang hari. Tak kusangka, Corona memakan korban lagi. Korban raga, jiwa dan mental. Apakah organku ini selezat itu, Corona? Kau memang licik. Bukankah ini adalah motifmu? Bila kau tak mampu membunuh mental manusia maka kau membunuh raganya, bukan?
Semoga jiwa-jiwa pahlawan yang terkarantina itu segera bebas. Dan mengeksekusi Corona tanpa belas kasih. Bangunlah, bangunlah kau jiwa-jiwa pahlawan! Aku yang sebentar lagi akan tertidur untuk selamanya, berdoa agar jiwa pahlawan itu senantiasa bangun selamanya.
Semarang, 12 jam 3 menit sebelum hari pahlawan itu yang kata kalender di dindingku akan diperingati.
Wuuaahh mantaappz..kereenn bgt
BalasHapussalam kenal Bu....saya Etin dr Cianjur.....Muantap Bu Nora.....Sukses selalu...kerennnn
BalasHapusMain Bu ke blog saya ...saya peserta pel menulis g 17...pemula banget ...mhn berkenan memberi komentar tuk perbaikan
Keren sekali...luapan emosi jiwa muda yang disalurkan dalam tulisan
BalasHapusRasanya tak percaya tulisan hebat itu dibuat oleh seorang pelajar. Sukses terus ya
BalasHapus